Kamis, 19 Mei 2016

Pukat Cincin KM. Burung Laut Kuma

Operasional Penangkapan Ikan (Pukat Cincin)
Di KM. Burung Laut Kuma

Pendahuluan

Sebagai salah satu wilayah maritim yang memiliki laut yang luas, Perairan Indonesia menyimpan potensi sumberdaya kelautan yang besar. Sumberdaya kelautan tersebut berupa sumberdaya ikan demersal, sumberdaya ikan pelagis serta sumberdaya lainnya. Potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan oleh para pelaku di bidang perikanan baik itu pengusaha skala kecil, menengah hingga pengusaha skala besar. Modernisasi alat tangkap serta sarana tangkap merupakan hal yang mutlak dilakukan bila ingin mencapai hasil tangkapan yang optimal.
Berbagai ragam pengembangan alat tangkap tak henti-hentinya dilakukan dalam usaha mengoptimalkan hasil tangkapan. Sebagai contoh misalnya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis, perkembangan alat tangkap yang memanfaatkan potensi tersebut mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Purse seine atau pukat cincin sebagai salah satu alat tangkap ikan pelagis mengalami peningkatan baik dari segi desain, operasional maupun sarana pendukung operasional. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya usaha penangkapan ikan dengan pukat cincin sebagai alat tangkap yang dominan dalam perikanan pelagis.
Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai salah satu wilayah maritim yang luas turut pula merasakan dampak kehadiran dan perkembangan alat tangkap purse seine atau pukat cincin tersebut. Purse seine atau pukat cincin juga dikenal dengan nama lokal soma pajeko. Pada prinsipnya operasional penangkapan ikannya sama, namun yang membedakan yaitu ukuran jaring. Soma pajeko berukuran kecil dan operasional yang masih manual, bila ada peralatan itupun winch sederhana yang dirakit dari mesin bekas.

Tinjauan Pustaka

Menurut Nomura dan Yamazaki dalam Ismi (2014), menjelaskan bahwa berdasarkan bentuk dan kontruksinya purse seine dapat diklasifikasikan kedalam dua bagian yaitu jaring yang berkantong dan jaring yang tidak berkantong. Selanjutnya Gunawan dalam Hidayat, 2004, menyatakan bahwa berdasarkan ukuran dan alat bantunya ada yang disebut purse seine ukuran kecil (mini purse seine) yang memiliki panjang jaring kurang dari 600 meter dan purse seine ukuran besar (tuna purse seine) yang mempunyai panjang jaring dapat lebih dari 1000 meter.
Subani dan Barus (1989), menjelaskan bahwa disebut “purse seine” atau jaring berkantong karena ketika jaring ini selesai dioperasikan akan membentuk seperti kantong. Disebut “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin yang mana tali cincin atau tali kerut/tali kolor dilalukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang semula tidak berkantong akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan.
Pada dasarnya pukat cincin dibuat dari beberapa lembar jaring yang berbentuk segi empat atau hampir, yang gunanya untuk menggurung gerombolan ikan kemudian tali kerut (purse line) di bagian bawah jaring ditarik sehingga jaring itu menyerupai kantong yang besar dan ditarik ke atas kapal pada salah satu sisinya atau kedua sisinya sehingga kantong semakin mengecil dan ikan dapat dipindahkan ke atas dek. Jaring merupakan dinding yang tidak dapat ditembus oleh ikan, sehingga ikan terkurung di dalam kantong (bunt) purse seine. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang selektif, yaitu dengan mengatur ukuran mata jarring (mesh size) sehingga ikan-ikan yang kecil dapat meloloskan diri.
Ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan dari purse seine adalah ikan-ikan yang “Pelagic Shoaling Species”, yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombolan), berada dekat dengan permukaan air (sea surface) dan sangatlah diharapkan pula agar densitas shoal itu tinggi, yang berarti jarak antara ikan dangan ikan lainnya haruslah sedekat mungkin. Dengan kata lain dapat juga dikatakan per satuan volume hendaklah jumlah individu ikan sebanyak mungkin. Hal ini dapat dipikirkan sehubungan dengan volume yang terbentuk oleh jaring (panjang dan lebar) yang dipergunakan. Jenis ikan yang ditangkap dengan purse seine terutama di daerah Jawa dan sekitarnya adalah : Layang (Decapterus spp), bentong, kembung (Rastrelinger spp) lemuru (Sardinella spp), slengseng, cumi-cumi dll.
Fungsi lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan yakni untuk mengumpulkan kawanan ikan kemudian dilakukan operasi penangkapan. Jenis lampu yang digunakan bermacam-macam, seperti oncor (obor), petromaks, lampu listrik (penggunaannya masih sangat terbatas hanya untuk usaha penangkapan sebagian dari perikanan industri). Ikan-ikan itu tertarik oleh cahaya lampu kiranya tidak terlalu dipermasalahkan sebab adalah sudah menjadi anggapan bahwa hampir semua organisme hidup termasuk ikan yang media hidupnya itu air terangsang (tertarik) oleh sinar/cahaya (phototaxis positif) dan karena itu mereka selalu berusaha mendekati asal / sumber cahaya dan berkumpul disekitarnya.

Hasil dan Pembahasan

Sesuai dengan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2010, tercatat ada 9 (sembilan) usaha perikanan pukat cincin yang tersebar di wilayah ini. Sentra perikanan pukat cincin di Kabupaten Kepulauan Sangihe terdapat di dua lokasi yakni Kecamatan Tidore dengan jumlah armada tujuh (7) unit dan Kecamatan Kuma dengan jumlah armada dua (2) unit.

Penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat cincin di KM. Burung Laut Kuma dilakukan dengan menggunakan alat bantu penangkapan rumpon milik pemilik alat tangkap dan milik nelayan-nelayan sekitar. Sebelum dilakukan operasi penangkapan dilakukan pengumpulan ikan di rumpon. Nelayan yang bertugas akan pergi ke laut pada sore menjelang malam hari. Selanjutnya nelayan tersebut akan menyalakan lampu untuk memikat ikan-ikan kecil sehingga akan berkumpul di bawah rumpon. Sedangkan armada penangkapan akan pergi kelokasi penangkapan pada pukul 02.00 subuh. Jarak dari pantai menuju ke lokasi penangkapan ikan dapat ditempuh dengan waktu setengah jam. Selanjutnya fishing master (tonaas) akan menyelam di sekitar rumpon untuk mengamati ketebalan gerombolan ikan ataupun arah arus. Arah arus dapat diketahui dengan melihat arah kepala ikan  dengan asumsi bahwa arah kepala ikan akan berlawanan dengan arah arus. Para anak buah kapal akan mengikat buih pada rumpon dan selanjutnya rumah rumpon akan dilepas dan dibiarkan bebas sehingga akan memudahkan ketika proses penawuran jaring. Selanjutnya tonaas akan memberikan kode untuk penawuran jaring. Penarikan jaring dilakukan apabila ujung tali pertama dan tali yang terakhir telah sampai diatas perahu. Penarikan jaring diawali dengan penarikan tali cincin, penarikan tali cincin harus dilakukan secepatnya agar ikan tidak ada peluang untuk meloloskan diri. Apabila telah selesai dilakukan pengangkatan jaring maka perahu akan kembali mencari rumpon dan selajutnya akan kembali mengikatkan rumah rumpon tersebut.


Daftar Pustaka

Anonimous. Pukat Kantong. nhttp://www.slideshare.net/bachrisb/pukat-kantong
Baskoro, M., dan Taurusman.,A.Am., 2011. Tingkah Laku Ikan: Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. Lubuk Agung. Bandung. 258 hal.
Subani W dan H.R Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 35 tahun 1988/1989 Edisi Khusus. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.



Pambut Sebagai Sarana Penangkapan Ikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe

PAMBUT SEBAGAI SARANA PENANGKAPAN IKAN 
DI KABUPATEN KEPUALAUAN SANGIHE

Pendahuluan
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (UU RI No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). Selanjutnya PP No 54 Tahun 2002 tentang Usaha  Perikanan menjabarkan beberapa definisi kapal, diantaranya : Kapal Perikanan yaitu kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal Penangkap Ikan yaitu kapal yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung dan mengangkut, menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan. Perahu Penangkap Ikan yaitu sarana apung penangkapan yang tidak mempunyai geladak utama dan bangunan atas/rumah geladak dan hanya memiliki bangunan atas/rumah geladak yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung dan mengangkut, menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan.
Istilah "kapal ikan tradisional" merupakan sebutan untuk kapal perikanan (fishing vessel) yang bersifat tradisional. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 31. Tahun 2004, Tentang Perikanan, dalam Pasal I dinyatakan bahwa "kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain, yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi Perikanan". Kamus besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka mengartikan istilah ”tradisional" sebagai "sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun" Sedangkan menurut Balai Pengembangan Penangkapan lkan Semarang, umumnya konstruksi kapal ikan tradisional menggunakan balok lunas dari kayu dengan beberapa lembar papan sebagai kulit/dinding kapal dan gading-gading serta balok linggi (depan dan belakang) sebagai penguatnya, serta mempunyai balok deck, papan deck, palkah ikan, dan bangunan di atas deck. Sehingga ”kapal ikan tradisional" dapat didefinisikan sebagai sarana apung untuk melakukan kegiatan penangkapan, penampungan, pengolahan dan penyimpanan ikan yang dibuat dari bahan kayu oleh galangan atau pengrajin kapal tradisional, berdasarkan pada pengalaman dan keahlian yang diberikan secara turun-temurun, sesuai sistem tradisi masyarakat setempat, tanpa menggunakan gambar rancang bangun (design) dan spesifikasi teknis yang lengkap sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunannnya (Sa’id, 2009).
Kapal ikan tradisional umumnya menggunakan kayu sebagai material utama. Hal ini dikarenakan biaya produksi dan perawatan kapal kayu lebih murah bila dibandingkan dengan material lainnya. Kayu merupakan material yang baik untuk pembangunan kapal ikan. Pemilihan kayu untuk satu tujuan pemakaian memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat kayu tersebut yang meliputi berat jenis, kelas awet dan kelas kuat. Namun persyaratan tersebut amat memungkinkan terjadi pengisian oleh kayu jenis yang lain apabila didaerah tersebut kayu yang memenuhi kriteria sangat langka dan harga yang tinggi.
Gambaran Wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe secara geografis terletak diantara 4O 4' 13" - 4O 44' 22" Lintang Utara, 125O 9' 28" - 125O 56' 57" Bujur Timur, berada antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Republik Pilipina) dan merupakan bagian integral dari Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukota Tahuna, jarak tempuh 142 mil laut dari ibukota Propinsi yakni Manado. Luas wilayah daratan Kabupaten Kepulauan Sangihe mencapai 11.863,58 km2 yang terdiri dari daratan seluas 736,98 km2 atau seluas 6,2 % dan lautan seluas 11.126,61 km2 (Anonymous, 2009).
Dengan luas wilayah laut yang besar tentu membutuhkan transportasi laut sebagai sarana penunjang kebutuhan. Sarana transportasi berupa kapal dan perahu sangat diperlukan dalam aktifitas kehidupan masyarakat. Kapal atau perahu merupakan sarana transportasi yang umum di Kabupaten Kepulauan Sangihe, baik sebagai sarana transportasi antar pulau juga sebagai sarana penunjang mata pencaharian bagi para nelayan.
Kondisi suatu daerah penangkapan ikan tidak sama pada beberapa tempat, ditambah pula keadaan cuaca yang tidak menentu serta pengaruh gelombang dan arus maka suatu kapal perikanan pada berbagai daerah sangat berbeda karakteristiknya. Pembangunan suatu armada penangkap ikan sangat memperhatikan karakteristik daerah penangkapan ikan. Kabupaten Kepulauan Sangihe termasuk daerah yang mempunyai kondisi cuaca yang ekstrem sepanjang tahun, sehingga membutuhkan armada penangkap ikan yang sesuai dengan kondisi tersebut. Dengan kondisi tersebut nelayan atau pelaku perikanan, Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut, para nelayan menggunakan berbagai jenis kapal penangkap ikan yang berbeda baik ditinjau dari ukuran maupun dari bahan baku pembuatan kapal. Kapal-kapal tersebut kondisinya juga sangat beragam, dari yang bersifat tradisional sampai dengan yang memanfaatkan teknologi maju yang terus disesuaikan sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi itu sendiri. Demikian pula dengan alat tangkap yang digunakan kapal ikan itu terdiri dari yang sangat sederhana sampai dengan alat tangkap modern.
Armada penangkap ikan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari beberapa jenis, mulai dari tradisional hingga semi modern diantaranya perahu katir tanpa mesin, perahu katir bermesin dan kapal. Armada penangkap ikan tersebut mengusahakan berbagai macam jenis alat tangkap ikan. Salah satu jenis kapal penangkap ikan yang umum terdapat di Kabupaten Kepulauan Sangihe, yaitu pambut (pumpboat). Sejak diperkenalkan oleh nelayan asing dari negara tetangga Phillipina armada penangkap ikan ini menjadi sangat populer. Keberadaan armada ini bukan hanya di Kabupaten Kepulauan Sangihe saja namun hingga daerah-daerah sekitar seperti Kepulauan Talaud, Kabupaten Sitaro hingga ke daerah Maluku. Selain digunakan untuk menangkap ikan, pambut juga digunakan sebagai sarana transportasi antar pulau.
Asal usul kata hingga dinamakan pumpboat masih belum jelas pengertiannya hingga saat ini. Pumpboat atau selanjutnya lebih dikenal dengan nama pambut istilah lokal di Kepulauan Sangihe,  awalnya dibuat dan digunakan  di Negara Philipina, penggunaanya sebagai alat transportasi dan juga  sebagai sarana penangkapan ikan. Dalam  perkembangan selanjutnya perahu ini telah tersebar ke berbagai daerah di Indonesia Timur khususnya Sulawesi Utara, demikian pula halnya keberadaan pambut sangat umum dijumpai di Kepulauan Sangihe. Perahu ini dibangun dengan ukuran yang bervariasi tergantung dari segi penggunaanya serta kemampuan daya beli bahan dari pemiliknya. Bahan-bahan seperti marine triplex, paku tembaga dan bahateng masih memakai produk Negara Philliphina. Jumlah armada penangkap ikan yang menggunakan pambut sebagai sarana tangkap kian hari kian bertambah, yang secara otomatis mendesak nelayan tradisional yang hanya mengandalkan dayung dan layar.
Pambut termasuk tipe perahu berkatir bermesin dalam. Pambut dibuat dengan berbagai macam ukuran, mulai dari yang kecil hingga yang berukuran besar tergantung kebutuhan. Pambut berukuran besar bermesin dalam (inboard) dengan daya pendorong 150 PK 6 katup Merek Izusu dan Merek Mitsubishi dengan tenaga kerja sebanyak 5-6 orang. Pambut ukuran ini mampu membawa 8 hingga 10 armada pendukung (pakura) dan sangat efisien dan efektif dalam menangkap ikan di laut, terutama jenis ikan tuna. Pakura tersebut diawaki oleh 1 orang dengan mesin 5 PK yang bertugas sebagai penangkap ikan. Pambut berukuran besar tersebut seringkali di sebut pusu, hal ini merujuk pada jenis mesin yang digunakan yaitu fusso atau mesin truck yang sudah tidak digunakan untuk kemudian dimodifikasi sehingga bisa digunakan pada pambut ukuran besar. Sedangkan pambut berukuran kecil mempunyai mesin yang disebut dengan katinting, dengan daya dorong mulai dari 5 PK – mencapai 16 PK. Salah satu ciri khas yang dapat ditemui pada perahu ini yaitu dindingnya atau papan kulit terbuat dari marine triplex yang tebal dan tahan air serta salah satu bahannya yaitu trem (local name: bahateng) terbuat dari bambu yang elastis dan kuat (local name: bayut). Ukuran ketebalan marine triplex ini bervariasi menurut ukuran perahu, untuk perahu berukuran kecil menggunakan marine triplex 3 mm, sedangkan yang besar menggunakan marine triplex 5 mm.
Pambut
Pambut merupakan perahu tipe bercadik, cadik tersebut terdapat pada bagian kiri dan kanan perahu yang fungsinya untuk menjaga keseimbangan agar tidak mudah oleng ketika diterjang ombak, dalam istilah lokal, cadik disebut sahemang. Cadik tersebut umumnya dari dari bambu tahan air (tabadi). Untuk perahu pambut yang besar pada bagian tengah terdapat penyangga (trim) yang disebut dengan bahateng yang merupakan gabungan dari kayu keras dan bambu ruas pendek yang lentur (bayut). Bagian depan dibuat/didesain sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai haluan dan pemecah gelombang /ombak.
Paku yang digunakan yaitu paku tembaga untuk bagian yang kena air dan paku zink untuk bagian geladak. Sebagai papan dan papan geladak digunakan marine triplex dengan ukuran 3 mili-5 mili tergantung ukuran perahu yang dibuat, untuk merekatkannya digunakan lem epoxy. Pengecatan perahu dengan menggunakan cat khusus yaitu marine coatex.
Bahan Baku Pembuat Pambut
Pembuatan pambut mengadopsi teknik pembuatan dari negara asal yaitu Phillipina, sehingga bahan-bahan yang dibutuhkan sebagian besar masih tergantung pasokan dari negara Phillipina. Untuk membuat suatu pambut diperlukan bahan-bahan yang pada bagian-bagian perahu pambut tersebut berbeda pada masing-masing bagian.
Bagian-bagian perahu pambut beserta bahan-bahannya diuraikan sebagai berikut:
Lunas (kasku)
Lunas membutuhkan kayu yang tidak mudah pecah dan tahan binatang laut. Lunas biasanya terbuat dari kayu bulat, keras, tahan air dan tidak bersambung. Beberapa jenis kayu yang biasanya dipakai untuk lunas seperti kayu kaluwatu, pilapihe dan panirang.
Linggi
Linggi terbuat dari kayu keras, tahan air seperti panirang, pilapihe, salise (Ketapang/Terminalia catappa), kapuraca atau dingkareng (Nyamplung/Caiophylum inophyllum).
Gading
terbuat dari kayu keras dan tahan air seperti nyamplung (Caiophylum inophyllumdan ketapang (Terminalia catappa).
Geladak
Rangka geladak terbuat dari kayu keras, tahan air seperti (Caiophylum inophyllumdan ketapang (Terminalia catappa), sedangkan untuk alas memakai marine triplex.
Senta
senta membutuhkan kayu yang tidak mudah pecah dan tahan binatang laut.
Dinding
Terbuat dari marine triplex yang ketebalannya mengikuti ukuran perahu pambut yang akan dibangun.
Trim (bahateng)
Terbuat dari bahan bambu khusus yang tahan air serta mudah dibengkokan, pembengkokan bambu tersebut biasanya memakai kayu bakar ataupun kompor las. Pembengkokan bambu tersebut umumnya memakan waktu yang lama hingga mencapai hasil lekukan yang diinginkan.
Katir (sema-sema, sahemang)
Terbuat dari bambu tahan air (tabadi) yang mempunyai ketebalan dan diameter yang cukup.
Untuk merekatkan masing-masing bagian tersebut digunakan paku tembaga dari berbagai macam ukuran tergantung bagian yang akan direkatkan serta lem epoxy yang khusus didatangkan dari negara tetangga. Pengecatan perahu menggunakan cat dan pengencer cat yang mempunyai kualitas yang baik, cat yang digunakan yaitu jenis marine coating seperti merek marine seagull dan boysene.
Pembuatan Pambut
Proses pembangunan pambut secara umum para perajin terlebih dahulu yaitu penyediaan bahan. Bahan-bahan yang sudah tersedia seperti lunas, linggi, gading, centa, serta bahan-bahan kayu lain yang akan dipakai dalam pembuatan kapal ini selanjutnya dikeringkan dengan cara dibiarkan ditempat sejuk.
1)     Peletakan lunas
Pekerjaan pertama yaitu membuat lunas, lunas yang telah dipotong sesuai ukuran dibersihkan.
2)     Pemasangan linggi
3)     Pemasangan gading
4)     Pemasangan balok geladak
5)     Pemasangan senta
6)     Pembuatan rumah mesin
7)     Pemasangan dinding
8)     Pemasangan mesin
9)     Pemasangan tiang
10)  Pemasangan trim
11)  Pemasangan katir
12) Pengecatan 

Permasalahan
Kehadiran pambut sebagai sarana penangkapan ikan sangat efektif, ditunjang dengan alat tangkap pancing (handline) khususnya pancing tuna (tuna handline) untuk penangkapan ikan tuna dan cakalang. Kehadiran pambut dalam penangkapan ikan tuna mendesak nelayan tradisional  dengan peralatan seadanya dan ditunjang jangkauan wilayah operasi dekat.
bambu jenis bayut

proses pembengkokan bayut

linggi depan

pambut ukuran kecil


pambut ukuran besar (pussu)

pakura

Kepustakaan
Anonymous, 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran.
Anonymous, 2009. Profil Sangihe 2009.
Anonymous, 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan.
Anonymous, 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Sa’id, S.D.,2009. Kajian Ekonomis Penggunaan Daya Mesin Kapal Purse Seine Di Perairan Pekalongan. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang. hal 7.





Pengertian Bahan Alat Tangkap Ikan

PENDAHULUAN

TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu memilih bahan dan alat yang sesuai untuk pembuatan alat tangkap ikan.

KOMPETENSI

Sesudah mengikuti materi ini mahasiswa diharapkan dapat :
1.    Menjelaskan pengertian bahan dan alat penangkapan ikan;
2.   Menyebutkan alat pokok, alat tambahan dan alat bantu penangkapan ikan;
3.   Mengklasifikasikan alat tangkap ikan berdasarkan kedalaman perairan dan aktifitas penangkapan.

Pengertian Bahan Alat Tangkap Ikan

Menurut Murdiyanto (1985) dalam Katiandagho (2001), bahwa bahan dan alat tangkap ikan yaitu segala bahan yang turut serta menjadi satu kesatuan membentuk alat penangkap ikan secara lengkap sehingga siap digunakan dalam operasi penangkapan ikan.
Dalam memilih bahan untuk membuat suatu alat penangkap ikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya berikut ini :
1.    Murah,
2.   Mudah memperolehnya,
3.   Sifat-sifatnya cocok,
4.   Mudah membuatnya.

Identifikasi Bahan Alat Penangkap Ikan

Suatu alat penanangkapan ikan dibangun oleh beberapa bagian alat yang berbeda, namun bila diperhatikan ada pula bagian alat yang secara umum terdapat pada hampir semua alat penangkap ikan dan mempunyai fungsi yang sama. Pada alat tangkap ikan yang berbahan dasar jaring misalnya terdapat bahan dan alat yang umum ditemui seperti  pelampung; pemberat; benang jaring dan tali temali. Bahan dan alat tersebut masing-masing mempunyai fungsi tersendiri sesuai dengan penamaanya. Bahan dan alat tersebut ada yang digunakan namun adapula yang tidak menggunakan, seperti misalnya pada jaring insang hanyut permukaan (soma landra) yang tidak menggunakan pemberat.
Jaring Insang Hanyut Permukaan (soma landra)

Pelampung pada pukat cincin

Basket dan pelampung tanda pada rawai (KM. Bobara Aertembaga Bitung)

Pemberat batu pada rawai (KM. Bobara Aertembaga Bitung)

Pemberat pada pukat cincin
Benang jaring
Tali temali
Jaman dahulu bahan pelampung terdiri dari kayu, gabus, bambu, bola gelas dan bola besi. Sekarang pelampung terbuat dari bahan damar yang di bentuk untuk bermacam-macam penggunaanya. Pada umumnya pelampung buatan berbentuk slinder, bulat dan bujur telur. Pelampung tanda yang diberi bendera, pelampung radio, pelampung yang diberi lampu, tong kayu.
Bahan yang digunakan sebagai pemberat terdiri dari timah hitam, besi, porselin, batu dan semen. Bentuknya bermacam-macam yakni silinder, seperti drum, bulat, seperti perahu.
Bahan benang jaring yang disiapkan untuk pembuatan alat tangkap terdiri dari 2 tipe yaitu:
1.    Benang jaring bersimpul.
2.   Benang jaring tanpa simpul.
Penggunaan jaring tanpa simpul untuk pembuatan alat tangkap ikan relatif jarang digunakan, selain susah memperolehnya juga apabila terjadi kerusakan sangat sulit untuk memperbaikinya.
Tali temali dinyatakan dengan panjang dan diberikan definisi pada akhir penggunaan tali misalnya :
tali ris atas, yaitu tali yang digunakan untuk menggantungkan badan jaring bagian atas.
tali ris bawah, yaitu tali yang digunakan untuk menggantungkan badan jaring bagian bawah.
tali pelampung, yaitu tali yang digunakan untuk menempatkan pelampung.
tali pemberat, yaitu tali yang digunakan untuk menempatkan atau mengikatkan pemberat.
tali jangkar, yaitu tali yang dipakai untuk mengikatkan jangkar.
tali samping, yaitu tali yang dipasang pada kedua sisi badan jaring dan berfungsi sebagai pembatas dan penguat jaring.
tali cincin dan tali tarik, yaitu tali yang dipakai untuk menempatkan cincin dan berfungsi pula sebagai tali tarik seperti pada alat tangkap pukat cincin.

Alat Pokok, Alat Bantu Dan Alat Tambahan

Alat penangkapan ikan dapat diklasifikasikan  ke dalam tiga bagian, yaitu:

1. Alat pokok

Alat pokok adalah alat penangkapan ikan yang secara langsung berhubungan dengan tertangkapnya ikan, seperti jaring, pancing, sero dll.

2. Alat bantu penangkapan

Alat bantu penangkapan meliputi peralatan atau cara yang dipakai oleh nelayan untuk menarik, menggiring sekaligus mengumpulkan ikan pada suatu daerah penangkapan, sehingga memungkinkan untuk pengoperasian alat penangkapan.
Alat bantu penangkapan terdiri dari 3 tipe, yaitu:
1. Alat yang dapat mempengaruhi ikan sehingga terkumpul pada suatu daerah penangkapan, misalnya cahaya lampu.
2. Alat yang dapat menggiring ikan ke arah alat pokok, seperti “katsurahara” atau tali yang dipakai untuk menggiring ikan pada  alat tangkap jala buang/lempar, “tali sere” yang digunakan untuk menggiring ikan pada alat tangkap soma dario.
Tali sere pada soma talang (Kec, Tatoareng)
3. Alat yang dapat mengumpulkan ikan sehingga memudahkan untuk pengoperasian alat penangkapan seperti rumpon yang digunakan untuk mengumpulkan ikan yang dapat dimanfaatkan oleh alat tangkap pukat cincin atau pancing dan lampu yang biasa digunakan untuk menangkap ikan pada malam hari.
Rumpon ditunggui (Perairan Kendahe)
Rumpon tidak ditunggui (Perairan Kuma)

3. Alat Tambahan Penangkapan
Alat tambahan penangkapan meliputi perlengkapan atau desain yang dipakai secara tidak langsung menambah efisiensi operasi penangkapan yang digunakan. Contohnya: winch, puretic power block, netzonde untuk alat tangkap pukat cincin; line hauler untuk alat tangkap rawai dan lain sebagainya.
Winch sederhana pada soma pajeko Burung Kuning Tidore

Power block (Pathemang Raya Bitung)

Power block (KM. Bobara Aertembaga Bitung)

PUSTAKA
Ardidja, S.,2007. Alat Penangkap Ikan. Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan. Jakarta. 107 hal.
Katiandagho,E.M.,2001. Bahan dan Alat Penangkap Ikan. Proyek Penulisan Bahan Ajar. Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan UNSRAT. Pusat Pembinaan Peningkatan Aktivitas Instruksional (P3AI) Unsrat Manado (tidak dipublikasikan) 146 hal.